Monday, July 25, 2005

Kamarku

Satu hal yang selalu aku percaya dari kamarku adalah bahwa dia akan selalu menerima kehadiranku baik sebagai orang yang menang, ataupun sebagai pesakitan yang kalah. Pula sebagai orang yang sedang mencoba lari dari kenyataan.

Welcome Home, Mom!

Malam Sabtu (23/07) yang mulai larut saat aku sudah berada di ujung kantuk, ponsel ku berdering. Aku menerima sms dari Ibu yang mengatakan bahwa beliau akan datang hari Minggu siang. Menyadari Ibu akan datang, kantukku langsung minggir dan aku mulai mencoba mengingat-ingat kondisi terakhir rumah untuk menyambut kedatangan beliau. Ibu sedikit sensitif soal rumah.

Sambil mencoba terlelap, aku melakukan scanning dalam benakku terhadap seisi rumah. Dimulai dari lantai. Secara keseluruhan, lantai cukup memprihatinkan karena memang sudah dua hari tidak kusapu. Dan sepertinya, lantai juga perlu di pel untuk mendapatkan hasil yang optimal. Selanjutnya ruang tengah. Terakhir kutinggalkan, karpet dan bantal yang biasanya kutiduri sambil nonton TV belum ku lipat. Jaket, tas, helm, sajadah, koran beberapa edisi serta beberapa lembar kuesioner penelitianku masih berserakan dengan begitu menggemaskan diatas sofa. Gampang. Pikiranku berikutnya menuju ke ruang tamu. Kondisinya juga tidak terlalu menggembirakan. Koran-koran seminggu terakhir yang sudah kubaca masih tergeletak tidak beraturan diatas meja. Juga (ini yang membuatku sedikit sensitif belakangan ini), undangan pernikahan anak/ cucu/ kemenakan/ tetangga teman-teman dan teman dari teman-teman bapak dan Ibuku ikut bergelimpangan (saya agak ragu dengan istilahku ini) di sekitar koran. Mereka tidak sendirian. Masih ada kwitansi tagihan telepon, listrik, juga promosi harga-harga barang salah satu supermarket yang semakin menambah kemajemukan ruang tamuku. Proses scanning selanjutnya mengantar pikiranku ke kamar Ibu. Ah, lumayan rapi. Hanya sepreinya saja yang belum kurapikan setelah beberapa malam terakhir aku tidur disitu.

Dan sekarang… ehm……dapur. Maaf, dapur bersih. Aman. Piring, gelas, dan peralatan memasak bekas eksperimen ala kadarnya untuk sekedar tidak kelaparan semua telah kucuci bersih dan kesat (setidaknya itu jaminan dari iklan deterjen yang kupakai). Begitupun kamar mandi. Excellent.

Hasil scanning ku menyimpulkan bahwa kondisi rumahku berada dalam status ‘berantakan terkendali’ alias siaga satu. Artinya tidak parah-parah amat. Paling cuma butuh 45 menit untuk memastikan semuanya normal kembali (dengan asumsi ceteris paribus). Hanya perlu sapu, pel, serta tangan dan kaki yang akan bekerja lebih banyak untuk men-defrag barang-barang. Kalau ada yang menganggap status rumahku harusnya lebih parah dari siaga satu, berarti scanner-nya perlu di update. Atau kalau bukan, berarti scanner-nya yang perfeksionis.

Masih ada waktu, pikirku sambil berusaha memasuki tidurku dengan tentram. Next day is a big Saturday for a “welcome mom” work. It’s a holy mission, isn’t it?

Sebenarnya, Ibu juga tidak akan marah bila beliau datang dengan kondisi rumah seperti demikian adanya. Sama sekali tidak. Paling-paling Ibu hanya akan menanyakan kabarku kemudian langsung ke kamarnya, menaruh barang bawaannya, mengganti pakaian lalu… lalu… (ya Tuhan, inilah yang membuatku lebih memilih untuk dimarahi langsung)… Ibu akan mengambil sapu lalu menyapu dari belakang hingga ke teras. Sebelumnya transit sebentar di ruang tamu untuk merapikan koran-koran dan lainnya. Mungkin Ibu melakukannya semata-mata karena melihat lantai yang kotor; akan tetapi bagiku, itu adalah sebuah sindiran. Sindiran yang betul-betul telak! Dan alangkah tidak berperikeibuannya aku jika aku hanya menyaksikan Ibu menyapu sambil nonton TV dan menikmati kue serabi yang sering beliau bawa. Benar-benar tidak tahu diri rasanya! Bau surga pun mungkin tidak akan dapat ku cium. Naudzubillah! Pernah ku dengar ungkapan bahwa kita mesti sering-sering introspeksi diri jangan sampai kita lupa bahwa bisa jadi segala rahmat yang kita peroleh hingga saat ini ternyata lebih banyak karena doa Ibu ketimbang usaha kita.

Sebenarnya aku masih punya alasan tambahan mengapa aku jadi ikut-ikutan sensitif soal kebersihan rumah. Apabila Ibu mendapati kenyataan rumah yang (misalnya) sangat tidak terawat, kemudian digabung dengan kenyataan yang lain bahwa aku belum sarjana-sarjana juga dan masih pengangguran, aku tidak ingin Ibu berkesimpulan bahwa anak lelakinya (yang manis ini) belum layak diberikan tanggungjawab yang lebih besar (Seperti menikah –Red). Entah sindiran bagaimana lagi nantinya. Mungkin aktivitasku di lembaga kemahasiswaan pun akan ditertawainya seperti tertawa orang tua yang melihat anaknya baru belajar berjalan. Sambil geleng-geleng kepala, barangkali.

ah, Ibuku sayang…

Friday, July 15, 2005

Harakiri


Salah satu budaya yang masih sering dilakukan oleh orang Jepang yang masih memegang teguh nilai-nilai tradisionalnya adalah harakiri. Harakiri adalah tindakan mengakhiri hidup dengan cara menusukkan belati atau samurai ke perut atau jantung yang dilakukan oleh orang yang merasa telah kehilangan kehormatan akibat melakukan kejahatan, aib, dan/atau mengalami kegagalan dalam menjalankan kewajiban. Bagi mereka, tidak ada gunanya lagi melanjutkan hidup bila sudah kehilangan kehormatan. Budaya ini juga masih terkait erat dengan kesetiaan dan kepatuhan orang Jepang kepada kaisar, dimana kaisar dalam kepercayaan Shinto (agama tradisional yang masih banyak dipeluk oleh masyarakat Jepang) berada di tempat yang sangat disakralkan.

Dalam film Last Samurai kita bisa menyaksikan harakiri yang dilakukan oleh Jenderal Hasegawa (Togo Igawa) akibat malu karena kalah dalam pertempuran melawan pasukan samurai pimpinan Katsumoto (Ken Watanabe). Dengan disaksikan oleh Katsumoto dan pasukannya, Jenderal Hasegawa menghujamkan belati ke jantungnya lalu membiarkan lehernya ditebas dengan samurai oleh Katsumoto (setelah dimintai sebelumnya oleh Hasegawa). Dalam dialognya kemudian dengan Kapten Nathan Algren (Tom Cruise), Katsumoto menyebut permintaan Hasegawa itu sebagai sebuah Kehormatan. Itu di film. Adapun di dunia nyata, kalau tidak salah (berarti benar, ya?), Beberapa tahun lalu tersiar berita tentang seorang pejabat Jepang melakukan harakiri akibat diketahui melakukan korupsi.

Dengan latar belakang alasan yang kurang lebih sama, yaitu rasa malu, akhir April yang lalu di Tegal, Jawa tengah, aksi “harakiri” juga dilakukan oleh bocah 15 tahun bernama Eko Haryanto. Eko merasa malu akibat tidak mampu membayar tunggakan uang sekolah selama sembilan bulan yang per bulannya sebesar Rp. 5000 (!). Sebelumnya, aksi dengan latar belakang yang sama juga dilakukan oleh Bunyamin (17). Bedanya, kalau Bunyamin “sukses” mengakhiri hidupnya, nyawa Eko Haryanto masih bisa diselamatkan (Syukurnya Eko tidak melakukan “harakiri” lagi akibat gagal melakukan “harakiri” sebelumnya).

Kasus upaya bunuh diri terkait masalah biaya pendidikan seperti ini semakin menegaskan betapa sulitnya orang-orang miskin untuk bisa memperoleh pendidikan. Kasus diatas bukan tidak mungkin akan terulang kembali mengingat jumlah anak-anak miskin di Indonesia sekitar 24 juta jiwa. Sebuah potret dramatis pendidikan di panggung kemiskinan struktural sebuah Negara bergelar subur bernama Indonesia.

Menyediakan pendidikan yang layak adalah tanggungjawab negara. Setidaknya itu yang tertuang dalam konstitusi negara. Terkait dengan hal ini, pemerintah telah mencetuskan beberapa langkah. Pertama, membuat ketentuan pengalokasian anggaran sebesar 20 persen dari APBN dan APBD masing-masing daerah untuk pendidikan seperti tertuang dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Kedua, memberikan beasiswa dengan menggunakan dana kompensasi BBM yang sudah beberapa tahun ini berjalan. Dana kompensasi BBM untuk pendidikan tahun 2005 ini misalnya, diputuskan sekitar 9 triliun.

Bagaimanakah hasil dari langkah-langkah yang diambil pemerintah itu? Mengenai pengalokasian anggaran sebesar 20 persen, ketentuan tersebut masih belum terpenuhi. Konstitusi pun akhirnya dilanggar dengan dalih tidak ada dana. Sejumlah daerah memang mengklaim telah mengalokasikan dana sebesar 20 persen dari APBD akan tetapi masih belum sesuai dengan ketentuan yang seharusnya dimana komponen gaji guru dimasukkan di dalamnya. Padahal, komponen gaji guru terlepas dari alokasi 20 persen tersebut. Sementara itu, Untuk dana kompensasi BBM justru banyak salah sasaran. Sebuah SD di Jakarta, misalnya, menggunakan dana kompensasi BBM tersebut justru untuk membeli TV dan AC untuk ruang kepala sekolah yang tidak berkenaan langsung dengan kebutuhan dasar pendidikan. Di Lampung, dana kompensasi BBM justru salah alamat akibatnya malasnya pejabat yang bersangkutan untuk mencari data tentang anak putus sekolah. Belum lagi kebocoran dana yang terjadi dimana-mana alias korupsi dengan modus beraneka ragam dari hulu hingga hilir.

Laporan tim Badan Penelitian dan Pengembangan Depdiknas menyebutkan biaya pendidikan lebih banyak ditanggung masyarakat daripada pemerintah. Porsi biaya pendidikan yang ditanggung orangtua siswa mencapai 53,74 sampai 73,87 persen dari total biaya pendidikan (Kompas (03/05/2005)). Laporan ini menegaskan (sekali lagi) betapa tidak bertanggungjawabnya pemerintah terhadap pendidikan. Anggaran mugkin hanyalah angka-angka yang tidak dapat berbicara. Akan tetapi dari angka-angka tersebut dapat dilihat sebuah itikad, dan pemerintah tidak memiliki itu.

Bagaimanapun juga, kenyataan aksi “harakiri” yang dilakukan oleh Eko dan Bunyamin tak pelak lagi menjadi tamparan keras terhadap ribuan “akan” yang selalu dilontarkan pemerintah. Kenyataan tersebut juga merupakan simbol atas kegagalan pemerintah dalam melaksanakan pendidikan (Atau seorang Eko dan Bunyamin belum cukup signifikan merepresentasikan kegagalan?). Kembali menyinggung kegagalan, jadi yang sepatutnya melakukan harakiri, siapa ya? (Bukan saya yang bilang). Ah, kita kan orang Indonesia?

Tuesday, July 12, 2005

Pulang

Mungkin kita melakukannya setiap hari. Segera setelah aktivitas kita usai – apapun itu, kita bergegas untuk pulang. Pulang mengisyaratkan kembalinya kita ke tempat yang kita sebut rumah – apapun dan bagaimanapun bentuknya. Rumah yang kita percayai dapat meleluasakan kita untuk berteduh, melepas lelah, dan tentunya menyimpan sejuta rahasia jati diri kita.

Pulang juga menyiratkan kerinduan. Kerinduan akan tempat asal, kerinduan akan masa lalu, kerinduan akan masakan Ibu yang dengannya kita tumbuh, pun sekedar kerinduan akan tarikan nafas yang mengantarkan kita pada ingatan masa silam. Kenangan, nostalgia, juga merupakan bentuk lain dari pulang. Pulang ke masa lalu yang hanya dapat kita lakukan secara mental karena dimensi waktu tidak mungkin diputar kembali.

Pulang menjanjikan pertemuan dengan sosok-sosok yang pernah mengiringi perjalanan waktu yang kita lewati. Nuansa seperti ini semakin terasa ketika menjelang lebaran dimana ratusan ribu orang berdesak-desakan di stasiun, terminal, pelabuhan dan bandara. Semuanya karena didorong oleh kerinduan yang hanya dapat ditebus dengan pulang. Barangkali memang sudah sunnatullah kita selalu memiliki kerinduan akan tempat kita berasal.

Mungkinkah ini sebabnya mengapa di setiap obituari, selalu terbahasakan “telah berpulang ke Rahmatullah”?

Inna Lillahi Wa Inna Ilaihi Raji’uun….

Mudah-mudahan kita masih tahu jalan pulang


Jeda

Setiap orang butuh jeda dari rutinitasnya. Rutinitas yang sering dituduh menjadi biang keladi berkurangnya waktu untuk bersosialisasi, atau atas hilangnya kesadaran bahwa ada orang-orang lain di sekitar kita yang juga punya hak atas sebagian waktu dan perhatian. Rutinitas juga dianggap tidak memberikan waktu untuk sekedar menikmati hidup, atau menjadi penyebab penatnya kepala akibat tekanan pekerjaan yang memaksa otak menuntut kompensasi berupa jeda untuk sekedar bisa di refresh.

Dengan jeda, kita berharap segera sesudahnya, kita bisa kembali bergelut dengan rutinitas dalam keadaan lebih siap, lebih fresh, dan mungkin akan menemukan jalan keluar dari persoalan yang mungkin sebelumnya tidak terlihat.

Jeda kemudian menjadi pembenaran untuk berbagai kegiatan mulai dari sekedar menikmati sebatang rokok, membaca novel, koran, majalah, main Playstation, menyewa film, hang out di mall, main billiard, nonton di bioskop, nongkrong di pantai atau kafe, bergoyang dengan hentakan musik di diskotik, atau menggeliat di panti pijat hingga tenggelam di dada perempuan malam. (Biar tidak dituduh bias gender, Okelah!) Dan/atau lelaki malam.

Tapi bagaimana dengan mereka yang sepanjang waktunya adalah jeda? Menyerahkan segenap umurnya pada beberapa atau semua aktivitas yang disebutkan diatas? Menciptakan kamuflase kesibukan dengan intonasi bicara seakan-akan berada di bawah tekanan saat menerima telepon dari siapapun, dan tak pernah berada di rumah akibat “sibuk” dengan jedanya. Adakah jeda dari rutinitas yang berupa jeda itu sendiri?

Waktu adalah uang, kata kapitalis sejati. Tapi waktu yang terlalu luang adalah indikator lain untuk pengangguran tidak kentara - Kata kapitalis malu-malu.

Bercak Coklat Serupa Bekas Luka Kecil di Sudut Bibir

Tadinya ku kira kau habis kecelakaan. Tapi jika sekiranya itu luka, kenapa hanya disitu? Sempat ku kira itu bekas kecap yang lupa kau seka dengan tisu setelah menikmati goreng-gorengan. Tapi bekas kecap harusnya lebih hitam daripada itu. Hampir pula ku tuduh itu adalah bekas air liur yang mengering karena mungkin kau tidur terlalu lelap, kemudian terlambat bangun, sehingga kau tidak (sempat) mandi pagi. Tapi aku tidak tega dengan perkiraanku itu.

“Sejak lahir”, katamu. Mau tahu sesuatu? Aku menikmati saat-saat aku memandanginya (tentu saat kau tidak menyadarinya). Dia meliuk-liuk seenaknya mengikuti lekuk bibirmu. Mengkerut saat kau cemberut, meregang saat kau tertawa riang, dan kembali ke bentuk asal saat kau diam. Elastis sempurna!

Pernah suatu hari aku kecewa melihatmu. Kau memakai make up yang menyebabkan dia terlihat samar-samar. Ayolah! Tak usah kau tutupi. I love just the way it is. Make up hanya merendahkan kualitasnya. Make up justru menjadi kamuflase terhadap orisinalitasmu (sesuatu yang paling ku suka). Buatku, dia ibarat peta gugusan pulau kecil yang menjanjikan pantai yang mempesona dengan pemandangan senja yang eksotis sehingga menarik kapal-kapal untuk berlabuh. Biarkan dia terlihat alami dan aku akan terus mengikuti liukannya dengan visualisasi yang ssslllooooooww…mmootioonn… nan indah (Sekali lagi, tentu saat kau tidak menyadarinya).

Sunday, July 03, 2005

Thanks, Dad...

Pa, terimakasih. Terimakasih untuk penolakan terhadap tawaran keluarga mereka yang mereka pikir tidak bisa kita tolak. Terima kasih pula karena telah mendengarkan semua pembelaanku di setiap perbincangan kita di ruang tamu tiap kesempatan bapak menjengukku.

Tentu berat untuk menolak tawaran mereka. Selain karena mereka masih keluarga, juga karena tawaran itu akan membuat bapak lebih cepat merasa tenang karena lebih cepat pula kulengkapkan siklus hidupku (apalagi dengan keserbacukupan). Tetapi bapak akhirnya menolak juga yang berarti bapak bersedia bersabar lebih lama untuk melihatku menyempurnakan hidup. Terima kasih pula karena telah mempercayakan aransemen hidupku sepenuhnya di tanganku sendiri -anakmu- yang sampai kini belum sarjana-sarjana juga.

Pa, dengan penolakan yang telah 'membebaskan' dan dengan rambutmu yang selalu tersisir rapi ke belakang (mungkin ini yang membuat Ibu jatuh cinta?), engkau mengingatkanku pada Don Corleone. (Meski ku yakin 100%, seperti halnya Ibu, engkau tak kenal Al Pacino).

grazie, papa... grazie..

Saturday, July 02, 2005

Selamat Pagi, Penunggu Setia..

Bangun di pagi hari dan langsung melirik ponsel yang cuma menampakkan indikator sinyal, logo operator, indikator baterai, nama profile, "menu", "names" dan jam (juga wallpaper buat ponsel yang lebih maju), sesungguhnya biasa-biasa saja. Tidak ada yang istimewa.
Tapi tidak untuk mereka yang jatuh cinta. Bagaimanapun, "1 message received" adalah mantra yang mujarab untuk mencerahkan pagi (meski kadang justru menggerahkan akibat bukan dari seseorang yang ditunggu2). Tampilan layar ponsel yang standar-standar saja di pagi hari bagi mereka yang jatuh cinta adalah dentingan gitar - intro untuk membuka sebuah nyanyian tentang kesendirian. Atau tentang harapan yang tidak kesampaian. Dinyanyikan dengan penuh penghayatan dan ekspresi wajah yang ditegar-tegarkan. Dia juga laksana tawa sinis terhadap mimpi-mimpi muluk yang kepergok.
(inilah saat yang paling tepat bagi soundtrack ungu violet untuk mengalun sayup-sayup, agar kesunyian pagi semakin menemukan bentuknya yang sempurna)