Wednesday, January 24, 2007

Kurang Lebih

Seperti saat Colombus menemukan daratan,
Seperti saat Jack Sparrow mendapatkan rum diatas Black Pearlnya,
Seperti saat Lord Aragorn melihat Gandalf di atas bukit saat matahari terbit,
Seperti saat Siti Hajar menyaksikan zam-zam,
Seperti saat orang berpuasa mendengarkan azan Maghrib,
Seperti saat Shinichi "Conan" Kudo memecahkan kasusnya,
Seperti saat Bakri menemukan serpihan pesawat yang hilang,
............ setiap kali aku memandangmu.

Astronot

Semakin lama memandangmu, aku semakin yakin kalau kau adalah anak seorang astronot. Pasti ayahmu seorang astronot. Mungkin ibumu, atau sanak familimu yang lain.

Sebab, kalau bukan astronot, lantas siapa lagi yang mampu terbang tinggi ke angkasa, memetik sepasang bintang dan memasangnya di matamu?

Saturday, November 25, 2006

Berubah

Seperti ada yang berubah pada sesuatu
yang selama ini senantiasa terasa 'hadir'.
Yang tadinya biasa dan sekarang menjadi tidak biasa.
Sepertinya aku harus mulai belajar untuk terbiasa dengan ketidakbiasaan ini.
Bahkan sepertinya aku mesti berusaha untuk menjadikan ketidakbiasaan ini
sebagai kebiasaan yang baru.

Friday, October 27, 2006

Idul Fitri: The Winners


Idul Fitri. Arti harfiahnya kira-kira kembali pada fitri/ fitrah. Sering disebut juga sebagai hari kemenangan. Disebut begitu sebab sepanjang periode Ramadhan sebelumnya dianggap sebagai masa peperangan. Perang yang dimaksud adalah perang melawan hawa nafsu (kok hawa, ya? Kenapa bukan Adam?). Manifestasinya bukan sekedar menahan lapar, haus, dan sexually impulsive, akan tetapi juga menahan emosi dan menahan diri dari memikirkan, mendengarkan dan menyebarkan hal-hal negatif. Mereka yang mampu menjalankan semuanya secara utuhlah yang kemudian akan memperoleh predikat pemenang. Siapa saja yang muslim boleh ikut shalat ied, akan tetapi hanya merekalah (para pemenang) yang ber-idul fitri. Mereka pulalah yang kemudian sering diibaratkan sebagai bayi yang baru lahir yang bersih dari noda dosa.

Aku lantas terfikir, adakah aku juga termasuk pemenang atau malah hanya sekedar simpatisan? Kok rasanya pesimistik begini ya? Ibadah pas-pasan, emosi yang sering tak tertahankan, hati yang masih sering tak ikhlas, menjadi parameter sendiri untuk meyakinkan keragu-raguan ini. Jika Idul Fitri adalah hari kemenangan, maka siapa atau apa yang telah kukalahkan? Rasanya aku tak pantas untuk ikut bergabung bersama para pemenang yang menggemakan takbir, tahmid dan tahlil. Sepertinya tidak layak untuk turut merayakan hari kemenangan sementara sepanjang Ramadhan aku tidak total berjuang seperti yang lain.

Kata Ustad (tidak mesti Jeffry ‘kan?), menjelang akhir Ramadhan orang-orang beriman akan semakin mengintensifkan ibadahnya. Akan tetapi melihat kecenderungan sekitar, yang terjadi justru tidak seideal itu. Jumlah jamaah di Masjid terkalahkan oleh “jamaah” di pusat perbelanjaan. Jelang lebaran jamaah malah lebih banyak yang thawaf di mall, bermunajat dengan khusyu’ di department store, ber-qiyamullail di swalayan/ retail, atau bahkan beri’tikaf di terminal, pelabuhan, maupun bandara. Kenyataan ini membuatku berpikir kalau mungkin aku tidak sendirian. Tapi tetap saja, bukan itu masalahnya.

Aku sudah akan cukup bersyukur apabila aku terdaftar sebagai pemenang cadangan saja. Artinya kalau misalnya nanti ada pemenang yang didiskualifikasi, aku akan menggantikan tempatnya. Masalahnya,..... adakah??

Have a Blessing Iedul Fitri, Congratulation to All the Winners....!

Pada Sebuah Halte

Di seberang kampus Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar yang kemarin sempat terkenal akibat tawuran Mahasiswa vs Aparat, berdiri sebuah halte yang sering ramai oleh mahasiswa yang menunggu pete-pete (angkot-Red). Halte itu sudah cukup kumal (Memangnya di negara ini masih ada halte yang tidak kumal?) . Atapnya yang melengkung masih terlalu pendek untuk menghadang terik matahari dan lebih-lebih lagi tempias hujan. Pada tengah malam, hampir selalu ada saja orang tidur disitu menunggu pagi yang mungkin sudah menganggap halte itu sebagai rumahnya.

Suatu ketika aku melintasinya, pada sandaran halte yang tebuat dari tegel keramik berwarna putih, mataku menangkap graffitti cukup besar yang sepertinya ditulis spontan dengan cat semprot berwarna hitam. Warna yang sangat kontras dengan warna keramik dan tiangnya yang kuning, membuat tulisan itu terkesan demonstratif. Agak provokatif dan sedikit eksplosif juga mungkin sinis: “Tuhan Muak Pada Orang Pasrah”.

Entah siapa pula yang menulisnya, dan entah kepada siapa dia hendak menujukannya. Mungkin kepada siapa saja yang merasa mulai menyerah pada apa yang disebut takdir. Atau mungkin kepada siapa saja yang telah memvonis dirinya tidak mampu mencapai harapannya serta kepada siapa saja yang telah merasa bahwa keadaan dunia ini tak akan pernah bisa lebih baik lagi. Atau barangkali, tulisan itu ditujukan kepada mereka yang telah berhenti bermimpi tentang sepasang mata yang berbinar sempurna maupun tentang sebuah pondok kecil di tepi telaga yang damai.


Aku lantas terfikir, mungkinkah orang itu menulis untuk dirinya sendiri? Mungkinkah dia menulis itu karena dia sendiri sudah muak pada dirinya yang pasrah? Entahlah...

Pastinya, kepada siapapun yang menulisnya, terima kasih untuk membuatku mengisi blog ini lagi setelah sekian lama

Wednesday, March 29, 2006

Mustika Hujan

Suara gesekan karet wiper yang sibuk menepis bulir-bulir bening hujan pada kaca mobil seakan menjadi instrumen musik tambahan dalam lantunan jazz lembut dari sound system. Di beberapa bagian lagu memang terdengar tidak tepat betul presisinya. Suara wiper itu lebih terkesan memaksa untuk diterima kehadirannya sebagai temanku melintasi jalan basah sepulang dari kantor.

Sore itu hujan tidak mengerahkan seluruh armadanya. Aku memilih mengurangi laju mobil untuk dapat lebih menikmati hujan. Tak perlu terburu-buru, pikirku. Toh, aku tidak sedang berjanji menjemput siapa-siapa. Lagipula, di rumah juga tak ada siapa-siapa yang menungguku dan yang akan menjawab salamku dengan senyum manis serta secangkir teh hangat di tangannya.

Dari balik kaca yang dipenuhi bulir hujan, kusaksikan di beberapa tempat orang-orang singgah berteduh. Sebagian besar dengan ekspresi wajah tak tenang. Mereka seperti tidak sabar lagi untuk tiba di rumah. Mungkin karena di rumahnya sudah ada yang menunggu dan akan menjawab salam dengan senyum manis serta secangkir teh hangat di tangannya.

Saat aku harus berhenti di sebuah persimpangan karena lampu merah, mataku tertumbuk pada sosok ibu muda berpakaian PNS. Sosoknya sederhana. Dia dibonceng oleh pria yang kemungkinan besar suaminya. Suaminya memakai mantel yang tidak cukup untuk mereka berdua. Si Ibu muda membiarkan sebagian tubuhnya basah oleh hujan. Ia tidak membetulkan posisi mantel yang kedodoran.

Begitu lampu berganti hijau, kendaraan bergerak maju. Meninggalkan jejak ban pada aspal yang akan segera ditimpa oleh jejak kendaraan berikutnya. Aku memutuskan mengikuti si Ibu muda tadi. Tentunya dengan menjaga jarak agar dia tidak merasa dibuntuti. Senyumnya membuatku tertarik. Senyumnya membuatnya terlihat lain sendiri diantara pengemudi lain yang berwajah serius tak ramah. Dia tak terusik sama sekali dengan pakaiannya yang basah. Dia terlihat bahagia. Begitu merdeka. Dia terlihat sangat menikmati betul setiap tetes hujan yang menerpanya yang memang terasa dingin menyejukkan.

Sebuah mercy melintas di sampingnya. Terlalu cepat hingga menyebabkan genangan air di aspal memercik mengenai rok si Ibu muda. Dia hanya melirik roknya sejenak dengan tetap mempertahankan senyumnya. Tidak terlihat guratan-guratan keluhan di wajahnya ataupun ekspresi iri kepada nasib si pemilik mercy yang lebih beruntung.

Mungkin dia baru saja memperoleh kepastian tentang kenaikan gajinya, pikirku. Sebuah kabar yang tentunya masih belum cukup melegakan di tengah lonjakan harga yang makin buas. Atau mungkin suaminya baru saja membelikan dia baju atau perhiasan yang sudah lama dia inginkan. Sebuah kulkas seperti milik tetangganya, barangkali. Atau malah dia yang sudah menyiapkan sebuah kejutan untuk suaminya di rumah sehingga dia tersenyum karena membayangkan wajah lucu suaminya bila terkejut. Atau, diatas semuanya, mungkin dia sudah memiliki kemampuan untuk bersyukur dan merasa beruntung atas apa yang sudah dia miliki. Entahlah.. yang pasti, ini terasa menyejukkan.

Sayang motornya berbelok ke arah jalan yang lain di saat aku mesti berhenti di lampu merah berikutnya. Masih sempat ku lihat lengannya melingkar di pinggang suaminya sebelum mereka benar-benar hilang dari pandanganku. Melihat pemandangan tadi aku merasa seperti sedang menemukan sesuatu yang inspiratif dan menyejukkan dalam wujudnya yang sederhana. Mungkin tentang sebuah rekayasa perspektif untuk dapat lebih menikmati hidup – yang toh juga dijalani oleh orang lain. Walau ku tahu, itu tidaklah mudah.

Hujan mulai reda. Wiper ku hentikan, AC ku matikan, kaca ku turunkan lalu sebatang rokok ku nyalakan. Lamat-lamat ku hirup lagi wangi sisa parfummu yang mulai pudar tersapu waktu dan asap rokok namun masih cukup terasa hadirnya menemaniku menikmati sepi. Hampir setiap hari seperti ini.

Thursday, February 16, 2006

Sunday, November 27, 2005

Terbaik Untukmu

Beberapa waktu belakangan ini, aku banyak berdoa. Untuk harapan-harapanku, keluargaku, dan juga untukmu. Iya. Untukmu. Agar kebaikan-kebaikan senantiasa tercurahkan kepadamu. Maka dari itu, agar doaku terkabul, aku juga banyak berusaha memperbaiki diri. Aku ingin menjadi bagian dari kebaikan-kebaikan yang dicurahkan padamu.
Aku ingin... kelak... akan ada suatu saat dimana kau akan bersandar di sofa yang empuk, menarik nafas dalam-dalam sambil memejamkan mata, dan menyunggingkan senyuman tanda bahagiamu bahwa memilihku adalah keputusan terbaik yang pernah kau buat sepanjang hidupmu.

Thursday, November 10, 2005

New Mission's Started

Minggu ini aku baru saja memulai peran baru:
menjadi sebiji baut di celah-celah mesin industri yang menggerakkan roda ekonomi...
Mohon Doa Restu...