Tuesday, July 12, 2005

Jeda

Setiap orang butuh jeda dari rutinitasnya. Rutinitas yang sering dituduh menjadi biang keladi berkurangnya waktu untuk bersosialisasi, atau atas hilangnya kesadaran bahwa ada orang-orang lain di sekitar kita yang juga punya hak atas sebagian waktu dan perhatian. Rutinitas juga dianggap tidak memberikan waktu untuk sekedar menikmati hidup, atau menjadi penyebab penatnya kepala akibat tekanan pekerjaan yang memaksa otak menuntut kompensasi berupa jeda untuk sekedar bisa di refresh.

Dengan jeda, kita berharap segera sesudahnya, kita bisa kembali bergelut dengan rutinitas dalam keadaan lebih siap, lebih fresh, dan mungkin akan menemukan jalan keluar dari persoalan yang mungkin sebelumnya tidak terlihat.

Jeda kemudian menjadi pembenaran untuk berbagai kegiatan mulai dari sekedar menikmati sebatang rokok, membaca novel, koran, majalah, main Playstation, menyewa film, hang out di mall, main billiard, nonton di bioskop, nongkrong di pantai atau kafe, bergoyang dengan hentakan musik di diskotik, atau menggeliat di panti pijat hingga tenggelam di dada perempuan malam. (Biar tidak dituduh bias gender, Okelah!) Dan/atau lelaki malam.

Tapi bagaimana dengan mereka yang sepanjang waktunya adalah jeda? Menyerahkan segenap umurnya pada beberapa atau semua aktivitas yang disebutkan diatas? Menciptakan kamuflase kesibukan dengan intonasi bicara seakan-akan berada di bawah tekanan saat menerima telepon dari siapapun, dan tak pernah berada di rumah akibat “sibuk” dengan jedanya. Adakah jeda dari rutinitas yang berupa jeda itu sendiri?

Waktu adalah uang, kata kapitalis sejati. Tapi waktu yang terlalu luang adalah indikator lain untuk pengangguran tidak kentara - Kata kapitalis malu-malu.

No comments: