Thursday, September 29, 2005

Mission Accomplished

Kamis 8 September 2005 Baruga A.P. Pettarani Unhas.
Aku dan sekitar seribuan wajah sumringah berkumpul untuk hajatan penutup masa studi. Akhirnya setelah lima tahun beberapa hari (satu tahun terakhir hanya untuk skripsi lengkap dengan pelariannya), aku sarjana juga. Dengan IPK yang cukup memberikan rasa aman untuk sekedar lulus berkas dalam prasayarat sebagian besar lowongan pekerjaan yang pernah kubaca, aku keluar dengan terhormat dari kampus.

Aku mengikuti prosesi wisuda sambil memperhatikan wisudawan lain. Aku menikmati roman wajah mereka. Wajah-wajah bahagia yang diekspresikan dengan tulus. Banyak senyum cerah disana. Mungkin wajahku juga punya andil atas ramainya senyuman hari itu. Seakan-akan hari itu kita sepakat untuk mengabaikan dulu kenyataan bahwa besok kita sudah jadi pengangguran. Yang ada hari itu adalah perayaan untuk tuntasnya satu tanggung jawab.

Yup! Satu tanggung jawab sudah selesai. Satu lagi fase hidup sudah dijalani. Lega, itu pasti. Kekhawatiran akan masa depan juga ada, tapi sesudah ini telah kuputuskan untuk menikmati dulu pencapaianku saat ini sembari mendesain masa depanku (Untuk itu, Bersediakah kamu menyertaiku? Iyya.... kamu...).

Jaga nama baik almamater
Hari itu wisudawan disuruh berjanji “menjaga nama baik almamater”. Aku lantas terfikir, setelah tawuran yang memalukan kemarin, masih adakah nama baik almamater ini untuk dijaga? Mungkin akan lebih baik kalau teksnya diganti dengan “memperbaiki nama almamater”. Itu lebih mengandung kejujuran dan sikap gentle serta mendorong kita untuk lebih baik ketimbang teks awalnya. Aku memilih diam. Rektor juga menyebut kampus adalah tempat untuk menghasilkan orang-orang yang berperadaban. Aku langsung teringat dengan berita kriminal TKP di TV7 tanggal 2 September dini hari. Berita tawuran di kampus disiarkan disitu, disusul dengan berita pembunuhan, pencabulan ayah terhadap anak kandung, penganiayaan dll. Peradaban....

Ah, Sudahlah... terima saja. Siapa tahu bisa jadi bekal untuk menjadi fasilitator atau juru runding untuk pihak yang sedang bertikai?

Akhirnya...

Hari Sabtu, 27 Agustus 2005, aku memakai pakaian putih hitam sama seperti maba yang sedang mengikuti ospek. Bedanya, kalau mereka baru mau memulai masa sebagai mahasiswa, aku justru mau mengakhiri. Pada hari itu akhirnya aku bisa hadir di kampus sebagai promovendus dan berhasil mempertahankan skripsiku di hadapan penguji.

Alhamdulillah...Tuntas sudah satu kewajiban. Aku merasa layak untuk sekedar menarik nafas lega. Teringat kembali setahun (!!!) kebelakang saat masa-masa nyusun kemarin. Kebingungan saat memilih judul, kehilangan arah saat pembahasan, mencoba lari dari kenyataan dan sensitif terhadap pertanyaan orang-orang seputar skripsi, menceburkan diri ke hal-hal lain yang meski bermanfaat tapi bukan di saat yang seharusnya hanya untuk mencari kenyamanan semu, dikalahkan oleh kemalasan, membagikan kuesioner pada sopir-sopir pete-pete dengan bahasa makassar ala kadarnya, hingga kekonyolan yang ku lakukan dengan menyerahkan berkas kepada pembimbing yang tadinya ku kira skripsi padahal ternyata copy-an cerpen! (kejadian ini tepat di hari ulang tahunku. Hari ulang tahun urus skripsi, bo’!)

Tapi semuanya tidak lagi berarti apa-apa saat dosen penguji mengumumkan kelulusanku. Ingin rasanya aku berteriak seperti Mel Gibson di film Braveheart: “Freedoooom...” meski di saat yang bersamaan, jauh di lubuk hatiku ku dengar lamat-lamat lagu Iwan Fals merambat mengancam mengingatkanku akan hari esok.

Setelah ketidakpastian ini berakhir, ku tahu kalau aku akan segera memasuki ketidakpastian yang baru.
C’est la Vie!